
Jakarta, 7 Juli 2025 — Setelah era dominasi konsumerisme digital dan budaya “more is more”, kini makin banyak anak muda Indonesia yang memilih gaya hidup baru: minimalisme fungsional. Fenomena ini ditandai dengan tren “decluttering” massal, desain rumah bersih tanpa dekorasi berlebihan, serta penggunaan pakaian kapsul yang hanya terdiri dari belasan item berkualitas.
Tagar seperti #KosongTapiLapang, #LivingWithLess, dan #Minimalis2025 viral di berbagai media sosial. Bahkan, video “room tour minimalis 9 meter persegi” yang diunggah TikToker asal Bandung, @sittiputri_93, ditonton lebih dari 18 juta kali hanya dalam seminggu.
Apa Itu Minimalisme Fungsional?
Berbeda dari tren minimalis sebelumnya yang berfokus pada estetika, gaya hidup ini berakar dari kesadaran akan nilai guna, keberlanjutan, dan kesehatan mental. Prinsip utamanya:
-
📦 Simpan barang yang benar-benar dipakai dan punya makna personal
-
🧘 Hidup tanpa distraksi visual dan digital berlebihan
-
👕 Lemari dengan 15-25 item pakaian berkualitas
-
☕ Kegiatan harian terkurasi, tidak multitasking, dan lebih mindful
Motivasi di Balik Perubahan Gaya Hidup
Beberapa alasan yang membuat anak muda berpaling ke minimalisme fungsional antara lain:
-
Burnout akibat overstimulasi digital dan belanja impulsif
-
Krisis ruang dan biaya sewa tinggi di kota besar
-
Kesadaran akan dampak lingkungan dari konsumerisme massal
-
Kebutuhan akan kendali dan ketenangan mental pascapandemi digital
Psikolog dari Universitas Airlangga, Dr. Wahyu Pramesti, menyebut tren ini sebagai “respon spiritual-modern atas kekosongan batin di tengah kelimpahan.”
Gaya Hidup Minimalis di Dunia Nyata
Tak hanya gaya konten, tren ini kini masuk ke ranah praktis seperti:
-
Desain kos minimalis tanpa TV, hanya buku dan tanaman
-
Tren makan 1-2 kali sehari dengan menu rumahan sederhana
-
Penggunaan dompet digital tanpa aplikasi e-commerce
-
Prioritas waktu dihabiskan untuk relasi intim, bukan sosial media
Beberapa perusahaan startup bahkan mulai mengadopsi prinsip “minimalist workspace”, dengan ruang kerja bebas distraksi dan jam kerja yang lebih singkat tapi fokus.
Kritik dan Tantangan
Meski terlihat ideal, beberapa pihak menyebut gaya hidup ini berisiko menjadi elitisme baru karena:
-
Memerlukan biaya awal untuk membeli produk berkualitas tinggi
-
Belum semua kalangan punya akses untuk memilih “hidup sederhana” secara sadar
Namun, para pelakunya menyebut minimalisme bukan tentang estetika mahal, melainkan kesadaran untuk hidup dengan cukup — bukan berlebihan.
Kesimpulan
Gaya hidup minimalis fungsional adalah refleksi dari perubahan nilai di kalangan anak muda urban: dari punya banyak → sadar akan cukup. Di tengah dunia yang makin bising dan padat, mereka memilih sunyi, terkurasi, dan bermakna.
Karena terkadang, yang kita butuhkan bukan lebih — tapi kurang yang tepat.