Fenomena Baru di Kalangan Milenial Muda dan Gen Z
Di tengah gempuran konten media sosial yang penuh dengan pamer liburan, muncul tren baru yang justru menghindari sorotan digital: Quiet Vacation. Fenomena ini viral di TikTok dan X (Twitter) selama sepekan terakhir, setelah beberapa influencer global mengunggah konten “tidak unggah apa pun” dengan caption bertuliskan: “I went on vacation, but this time, I didn’t post it.”
Tren ini menarik perhatian para sosiolog dan ahli media, karena dianggap sebagai bentuk digital detox sekaligus ekspresi perlawanan terhadap budaya performatif di media sosial. Liburan diam-diam ini mendorong seseorang untuk menikmati momen secara pribadi, tanpa terganggu notifikasi atau kebutuhan validasi online.
Dari Bali hingga Swiss: Destinasi Ramah ‘Quiet Vacation’
Di Indonesia, kawasan seperti Ubud (Bali), Sumba, dan Labuan Bajo menjadi destinasi favorit untuk pelaku quiet vacation. Pengelola penginapan bahkan mulai menawarkan paket no Wi-Fi, no selfie zone, hingga kamar dengan brankas untuk menyimpan ponsel selama masa menginap.
Sementara di luar negeri, pegunungan Alpen di Swiss, wilayah pedesaan di Toscana (Italia), dan fjord Norwegia menjadi pilihan populer. Banyak hotel butik kini mempromosikan pengalaman “disconnect to reconnect”, dan dilaporkan mengalami peningkatan reservasi hingga 35% dibandingkan tahun sebelumnya.
Psikolog: “Quiet Vacation” sebagai Terapi Urban Burnout
Menurut Dr. Maya Surbakti, seorang psikolog klinis dari Universitas Indonesia, quiet vacation bisa menjadi alat terapi efektif bagi generasi muda yang mengalami kelelahan digital dan tekanan citra sosial.
“Kita hidup di era yang menuntut eksistensi digital terus-menerus. Quiet vacation menjadi jalan keluar untuk mengembalikan kendali atas privasi dan kesehatan mental,” jelas Dr. Maya.
Penelitian terbaru dari Harvard Digital Behavior Lab juga menunjukkan bahwa individu yang melakukan liburan tanpa media sosial menunjukkan peningkatan kualitas tidur, fokus, dan kepuasan emosional yang lebih tinggi hingga dua minggu setelah liburan.
Respons Warganet: “Akhirnya Liburan Bukan untuk Konten”
Tren ini menuai respons beragam di kalangan warganet. Sebagian besar menyambut positif. Seorang pengguna X menulis:
“Dulu kalau liburan mikir outfit dan caption. Sekarang mikir cara biar bisa tenang tanpa HP. Gila sih, ini healing beneran.”
Namun, ada pula yang skeptis, menyebut tren ini sebagai bentuk “pamer diam-diam”. Mereka menilai bahwa justru dengan memviralkan quiet vacation, esensi privasi dan keheningan itu malah hilang.
Bisnis dan Travel Influencer Ikut Berubah Arah
Meskipun tampak berseberangan dengan industri influencer, sejumlah travel content creator mengadopsi tren ini sebagai bagian dari narasi baru. Mereka membuat konten reflektif sebelum atau sesudah liburan, alih-alih selama perjalanan berlangsung.
Travel blogger asal Yogyakarta, Adinda Prameswari, mengatakan dalam vlog terbarunya:
“Aku habis liburan 7 hari tanpa update story. Rasanya kayak balik ke zaman SMA, lebih meresapi, lebih banyak ngobrol sama orang lokal. Dan surprisingly, followers tetap nungguin cerita setelahnya.”
Beberapa brand pariwisata bahkan sudah mulai menggandeng influencer untuk mempromosikan digital silence sebagai nilai jual, bukan sekadar pemandangan indah.
Penutup: Tren yang Bisa Jadi Gaya Hidup Baru?
Fenomena quiet vacation bukan sekadar tren sesaat. Di tengah kepenatan urban dan kejenuhan konten berulang, masyarakat mulai merindukan pengalaman personal yang tidak perlu dibagikan. Tren ini menandai pergeseran besar dalam cara manusia modern menikmati waktu luang—dari “share everything” menuju “keep something for yourself”.
Apakah ini akan menjadi gaya hidup jangka panjang atau hanya gelombang tren sesaat? Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal pasti: keheningan, hari ini, mulai menjadi kemewahan baru.